Detail Cantuman
Advanced Search![No image available for this title](./images/default/image.png)
Text
Is ancestor veneration the most universal of all world religions? A critique of modernist cosmological bias = Apakah pemujaan leluhur merupakan agama yang paling universal di antara semua agama di dunia? Kritik terhadap bias kosmologis modernis
Penelitian yang dilakukan oleh para antropolog yang bekerja sama dengan Comparative Austronesia Project (Australian National University) telah mengumpulkan sejumlah besar data untuk perbandingan etnologis antara agama-agama di masyarakat penutur bahasa Austronesia, sebuah kelompok bahasa yang juga dimiliki oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Analisis komparatif mengungkapkan bahwa pemujaan leluhur merupakan ciri utama yang dimiliki bersama dalam kosmologi keagamaan Austronesia; sebuah ciri yang juga selaras dengan karakteristik agama-agama yang berfokus pada nenek moyang di Asia Timur. Secara khas, agama-agama masyarakat berbahasa Austronesia berfokus pada gagasan inti tentang waktu dan tempat suci asal usul leluhur serta aliran kehidupan berkelanjutan yang memancar dari sumber ini. Individu masa kini terhubung dengan tempat dan waktu asal melalui tindakan ritual menelusuri jalur sejarah migrasi ke sumbernya. Apa yang dapat diungkapkan oleh gagasan aliran kehidupan yang tampaknya eksotik ini mengenai kondisi manusia secara keseluruhan? Apakah ini hanya sekedar keingintahuan akan catatan etnografis wilayah ini, sebuah wawasan keagamaan tradisional yang terlupakan bahkan oleh banyak orang yang menganut agama tradisional tersebut, namun telah berada di bawah pengaruh apa yang disebut sebagai agama-agama dunia? Atau adakah sesuatu yang sangat penting yang dapat dipelajari dari pendekatan kehidupan Austronesia? Saya berpendapat, pertanyaan-pertanyaan seperti itu masih belum terjawab sampai sekarang, karena bias kosmologis yang sistematis dalam pemikiran barat telah menghalangi kita untuk menganggap serius Agama Leluhur dan bentuk-bentuk “pengetahuan tradisional” lainnya sebagai klaim kebenaran alternatif. Meskipun saya telah membahas di tempat lain pentingnya Agama Leluhur sehubungan dengan penelitian saya sendiri di dataran tinggi Bali, dalam tulisan ini saya akan mencoba menghilangkan bias ini sampai ke akar-akarnya. Saya melakukan hal ini dengan mengkontraskan dua cara berpikir: “dualisme inkremental” yang merupakan ciri utama budaya Austronesia dan Agama Nenek Moyangnya, dan “dualisme transendental” pikiran dan materi yang telah menjadi tema sentral dalam sejarah budaya pemikiran Eropa Barat. Saya menganjurkan apresiasi yang lebih mendalam terhadap agama Leluhur sebagai agama tertua dan paling tersebar luas di antara semua agama di dunia.
Kata kunci
Agama leluhur, monoteisme, dualisme, individualisme liberal, pilihan, prioritas, niat, kebebasan
Research by anthropologists engaged with the Comparative Austronesia Project (Australian National University) has amassed an enormous data set for ethnological comparison between the religions of Austronesian-speaking societies, a language group to which nearly all Indonesian societies also belong. Comparative analysis reveals that ancestor veneration is a key-shared feature among Austronesian religious cosmologies; a feature that also resonates strongly with the ancestor-focused religions characteristic of East Asia. Characteristically, the religions of Austronesian-speaking societies focus on the core idea of a sacred time and place of ancestral origin and the continuous flow of life that is issuing forth from this source. Present-day individuals connect with the place and time of origin though ritual acts of retracing a historical path of migration to its source. What can this seemingly exotic notion of a flow of life reveal about the human condition writ large? Is it merely a curiosity of the ethnographic record of this region, a traditional religious insight forgotten even by many of the people whose traditional religion this is, but who have come under the influence of so-called world religions? Or is there something of great importance to be learnt from the Austronesian approach to life? Such questions have remained unasked until now, I argue, because a systematic cosmological bias within western thought has largely prevented us from taking Ancestor Religion and other forms of "traditional knowledge" seriously as an alternative truth claim. While I have discussed elsewhere the significance of Ancestor Religion in reference to my own research in highland Bali, I will attempt in this paper to remove this bias by its roots. I do so by contrasting two modes of thought: the "incremental dualism" of precedence characteristic of Austronesian cultures and their Ancestor Religions, and the "transcendental dualism" of mind and matter that has been a central theme within the cultural history of Western European thought. I argue for a deeper appreciation Ancestor religion as the oldest and most pervasive of all the world religions.
Keywords
Ancestor religion, monotheism, dualism, liberal individualism, choice, precedence, intent, freedom
Ketersediaan
Tidak ada salinan data
Informasi Detil
Judul Seri |
-
|
---|---|
No. Panggil |
RAK Bahasa WACANA VOL15(1-2)2014
|
Penerbit | Fakultas Imu Pengetahuan Budaya UI : Depok., 2014 |
Deskripsi Fisik |
Hal. 223-253 , Vol.15 No.2
|
Bahasa |
Indonesia
|
ISBN/ISSN |
14112272
|
Klasifikasi |
NONE
|
Tipe Isi |
-
|
Tipe Media |
-
|
---|---|
Tipe Pembawa |
-
|
Edisi |
WACANA Vol.15 (1) 2014
|
Subyek | |
Info Detil Spesifik |
-
|
Pernyataan Tanggungjawab |
Thomas Reuter
|
Versi lain/terkait
Tidak tersedia versi lain