Text
Petisi Soetardjo (1936-1938) : suatu perjuangan mencapai Indonesia merdeka
Penelitian ini bertujuan untuk mengangkat peran Soetardjo Ksrtohadikoesoemo dalam Pergerakan Nasional Republik Indonesia dalam dunia pendidikan yang berlandaskan dengan sebuah petisi pada kurun waktu 1936-1938. Penelitian dilakukan dengan metode sejarah yang disajikan dalam bentuk deskriptif-naratif. Sumber primer diperoleh dari wawancara Ibu Iin dan suami selaku cucu dari Soetardjo Kartohadikoesoemo. Sumber sekunder beberapa dokumen yang didapatkan di Perpustakaan UNJ, Perpustakaan FIS, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Arsip Nasional, Museum Nasional, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, dan berbagai koleksi pinjaman seperti buku-buku terkait dengan Petisi Soetardjo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Petisi Soetardjo mempunyai kontribusi besar dalam pergeakan nasional khususnya dalam kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang telah dijanjikan dalam sebuah petisi tersebut dalam jangka waktu ”10 tahun” membuktikan bahwasanya Indonesia dapat merdeka karena salah satu faktornya adalah sebuah petisi yang ditulis oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo. Merdeka menjadi suatu tanggungjawab yang besar bagi suatu bangsa yang menyatakan Negara dan Bangsanya merdeka lepas dari belenggu penjajahan. Tanggung jawab tersebut adalah kelangsungan hidup bangsa dan mempertahankan kemerdekaannya yang harus dilakukan secara bersama. Petisi Soetardjo dilandasi oleh keadaan dunia secara umum, dimana negara-negara koloni menuntut pengelolaan yang lebih mandiri akan wilayahnya masing-masing. Secara garis besar Petisi Soetardjo ini berisi mengenai suatu keinginan yang dibatasi waktu mengenai kesepakatan untuk mengurus sendiri pemerintahan oleh rakyat bumiputera. Petisi tersebut disampaikan dalam sidang Volksraad pada tanggal 15 Juli 1936. Keputusan dari Ratu Wihelmina terkait petisi akhirnya resmi keluar pada tanggal 16 November 1938 dengan jawaban yang telah diduga sebelumnya bahwa Petisi Soetardjo ditolak. Ditolaknya petisi tersebut bukan berarti telah memadamkan semangat perjuangan Soetardjo dan kawan-kawan dari Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputra (PPBB), justru nilai penting dari petisi tersebut adalah tergugahnya kesadaran berpolitik rakyat bumiputera bahwa memang sudah sepantasnyalah Hindia Belanda diurus dan dinikmati oleh rakyat Hindia Belanda itu sendiri. Beberapa waktu setelah Petisi Soetardjo ditolak, tahun 1941 Soetardjo mulai dimintai keterangan yang mempertanyakan maksud sebenarnya Petisi tersebut, namun ketika ditanyakan bahwa maksud petisi tersebut adalah untuk peningkatan kesejahteraan rakyat bumiputera tentulah para pejabat pemeriksa bisa memaklumi adanya. Hal ini menunjukkan bahwa sejarah telah membuktikan pentingnya peranan jajaran Pamong Praja dalam menegakkan wibawa pemerintah Republik Indonesia.
This research aims to raise the role of Mr. Soetardjo in the National Movement of the Republic of Indonesia in the world of education which is based on a petition in the period 1936-1938. The research is done by historical method which presented in the form of descriptive-narrative. Primary sources were obtained from interviews of Ibu Iin and husband as grandchildren from the large family of Mr. Soetardjo. Secondary sources of documents obtained at UNJ Library, FIS Library, National Library, National Archives Library, National Museum, Formulation Museum of Proclamation Manuscript, and various collection of loans such as books related to Petition Soetardjo. The results showed that the Soetardjo Petition had a major contribution in the national struggle, especially in the independence of Indonesia. The independence that has been promised in a petition within "10 years" proves that Indonesia can be independent because one factor is a petition written by Mr. Soetardjo Kartohadikoesoemo. Merdeka becomes a big responsibility for a nation that states and nation free independence from the shackles of colonialism. The responsibility is the survival of the nation and defend its independence to be done together. The Soetardjo petition is based on the general state of the world, where the colonies demand more independent management of their respective territories. Broadly speaking, this Soetardjo Petition contains a time-limited desire for an agreement to take care of the government by the bumiputera people themselves. The petition was presented in a Volksraad trial on 9 July 1936. The decision of Queen Wihelmina related to the petition was officially released on 16 November 1938 with a previously assumed response that the Soetardjo Petition was rejected. The rejection of the petition does not mean that it has extinguished the spirit of the struggle of Soetardjo and his friends of the Bestuur Bumiputra Employees Association (PPBB), the important value of the petition is the awakening of the politics consciousness of the people of bumiputera that it is indeed proper that the Dutch East Indies is taken care of and enjoyed by the Indies own. Some time after Soetardjo's petition was rejected, in 1941 Soetardjo began to be asked questions that questioned the Petition's true intent, but when asked that the purpose of the petition was to increase the welfare of the people of bumiputera, surely the acting officials of the examiner could understand it. This shows that history has proven the importance of the role of the ranks of the civil service in upholding the authority of the government of the Republic of Indonesia.
SS00016217 | SK 16217 | UPT Perpustakaan UNJ (CD.04.2018.005) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain